Tak Ada yang Tahu, Sayang.

Tak ada yang tahu, Sayang, apa yang terjadi hari ini. Sebab malam minggu kemarin adalah malam minggu terakhir yang kunikmati bersamamu. Kamu menjemputku di depan rumahku pukul tujuh dengan vespamu. Aku memakai terusan biru selutut dan kamu memujiku cantik. Malam itu adalah malam yang sangat membahagiakanku karena sepanjang perjalanan menuju kafe favorit kita, hanya aroma lehermu yang tercium oleh hidungku. Wanginya tak pernah berubah khas dirimu. Aku selalu menyukainya.

Sebenarnya malam itu adalah surga tanpa aku mengingat sesuatu. Sesuatu yang terjadi di antara kita delapan tahun yang lalu. Hanya sebuah perkenalan biasa yang dulu aku tidak tahu akan menjadi cerita yang panjang. Sesuatu yang terjadi tentang kita lima tahun yang lalu. Lagu-lagu yang menceritakan persahabatan menjadi cinta yang sering kita tertawakan akhirnya mengutuk kita. Kamu mencintaiku, dan aku mencintaimu. Tapi, Sayang, cinta kita tak lama sebab empat tahun yang lalu kamu memutuskan sepihak dan kita kembali seperti dulu. Dua sahabat yang tak pernah saling mencintai. Itu dirimu, yang terjadi padaku telah berbeda. Aku hanya mencintaimu dan tak bisa menguranginya.

Empat tahun belakangan ini kulewati dengan sabar mendengar cerita-ceritamu. Tentang kuliahmu, pekerjaanmu, keluargamu, dan yang sedikit kubenci—kekasihmu. Seperti malam ini, aku tahu kamu sangat sedih sebab kamu hanya memesan kopi hitam. Dan tanpa perlu sok-sok mendramatisir suasana dengan terlalu menunjukkan belasungkawaku atas musibah yang menimpamu, seperti biasa, aku tetap memesan chocolate milkshake. Genggaman tanganku kurasa sudah cukup untuk berusaha menenangkanmu.

Kamu tersenyum tipis dan berkata, “Kayaknya nggak baik deh kalau kita bersedih terus-terusan.”

“Seharusnya aku yang mengatakan itu untukmu, hahaha.” Ujarku.

Kamu melepas genggamanku dan mengambil ponsel di saku celanamu, “Eh, iya, lihat deh kemarin seneng banget aku buka bersama bareng keluarga besar.” Kamu menunjukkanku foto acara makan-makan di rumahmu.

Aku senang jika kamu sudah bisa merasa senang lagi. “Wah, serunyaaa,” komentarku tulus sambil men-scroll foto-foto lainnya.

“Iya, aku bahagia. Semoga keluarga kecil kita nanti juga bisa bahagia.”

Tiba-tiba aku terkejut. “Kita?” tanyaku ragu.

“Aku dan kekasihku.” Sahutmu biasa saja.

Kamu tentu tidak sadar jemariku mulai gemetar dan untuk mengembalikan ponsel ke kamu saja rasanya sangat berat. Kamu dengan santainya menikmati kopi hitam dengan tersenyum seolah kopimu yang tanpa gula itu sudah berubah rasa madu.

Bukan denganku…. bukan denganku…. bukan denganku….

Kamu kaget melihatku seperti membanting ketika berusaha keras menaruh ponselmu di meja dengan tangan tremorku. Kata-kata itu memenuhi kepalaku. Kamu menatapku memastikan apakah aku baik-baik saja. Aku mengangguk dan menyeruput milkshake-ku yang kini terasa pahit seperti jamu. Aku kehilangan jiwaku.

***

Tak ada yang tahu, Sayang apa yang terjadi keesokan harinya. Sebab semua sesuai rencana singkatku. Pagi-pagi buta kudatangi kamarnya, tanpa orang tuanya curiga dan  malah mempersilakanku langsung masuk. Kutusuk jantungnya dengan belati yang sudah kuasah semalam suntuk sampai menembus punggungnya sehingga darahnya mengalir getir.

Aku belum sempat menari di atas kuburannya, Sayang, tanganku dikunci dan polisi-polisi ini terus menanyaiku macam-macam.

 

Lamongan, 26 Juni 2016.